Rukun-rukun Wudhu (Bagian 1)

Rukun-rukun Wudhu
Oleh: Syaikh Abu Malik Kamal as-Sayid Salim
hafidzahullah

Rukun-rukun wudhu yaitu hal-hal yang mana hakikat wudhu tersusun darinya. Bila salah satu rukun ditinggalkan, maka batallah wudhunya, dan tidak dinilai sah menurut syariat. Rukun-rukun wudhu adalah sebagai berikut:

1. Mencuci seluruh wajah

Wajah adalah sesuatu yang tampak pada saat berhadapan. Batasannya adalah dari tempat tumbuhnya rambut bagian atas dahi hingga bagian paling bawah jenggot atau dagu secara vertikal, serta dari telinga ke telinga berikutnya secara horisontal.

Mencuci wajah merupakan salah satu rukun wudhu, artinya tidak sah wudhu tanpa mencuci wajah. Dasarnya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu (Al-Maidah: 6)

Semua perawi yang meriwayatkan sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tentang mencuci wajah, dan para ulama telah bersepakat tentang hal ini.

  • Wajibnya berkumur-kumur dan istinsyaq.

Madhmadhah adalah mencuci dan menggerak-gerakkan air di dalamnya.

Istinsyaq adalah memasukkan air ke dalam hidung dan menghirupnya hingga ke pangkal hidung.

Sedangkan istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung setelah ber-istinsyaq.

Kedua perkara tersebut wajib dalam wudhu, menurut pendapat ulama yang paling shahih. Dasarnya adalah sebagai berikut:

a. Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mencuci wajah –seperti telah dijelaskan- sedangkan mulut dan hidung termasuk bagian dari wajah. Tidak ada alasan untuk mengkhususkan wajah pada bagian luarnya saja, sementara dalamnya tidak, karena semua bagian tersebut dalam bahasa Arab disebut wajah. Tetapi ada yang mengatakan bahwa mulut dan hidung memiliki nama yang khusus dalam bahasa Arab. Kami jawab: Demikian pula pipi, kening, alis mata, dan seluruh bagian wajah memiliki nama khusus, sehingga tidak dinamakan wajah lagi. Jadi alasan tersebut adalah alasan yang sangat jauh dari kebenaran, karena dengan demikian berarti tidak ada bagian wajah yang wajib dicuci.[1]

b. Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mencuci wajah secara mutlak, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya dengan contoh perbuatan dan pengajarannya. Beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung setiap kali berwudhu. Belum pernah dinukil bahwa beliau meninggalkan perbuatan ini, walaupun ketika beliau berwudhu dengan membasuh bagian yang penting-penting saja. Jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan suatu perintah, maka hukumnya adalah hukum perintah tersebut, yaitu menunjukkan kewajiban.[2]

c. Perintah istinsyaq dan istintsar diriwayatkan secara shahih dari ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من توضا فليستنثر

Barangsiapa yang berwudhu, hendaklah ia beristintsar

Dalam suatu riwayat:

إذا توضا أحدكم فليجعل في أنفه ماء ثم ليستنثر

Jika salah seorang dari kamu berwudhu, maka hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidungnya lalu ia keluarkan kembali[3]

إذا توضا أحدكم فليستنشق

Jika salah seorang dari kamu berwudhu, hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidungnya.”[4]

وبالغ في الإستنشق إلا أنتكون صائما

Bersungguh-sungguhlah dalam memasukkan air ke hidung, kecuali jika engkau sedang berpuasa.”[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,[6] “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) dengan perintah, bukan karena hidung lebih penting untuk dibersihkan daripada mulut. Bagaimana mungkin, padahal mulut lebih mulia karena digunakan untuk berdzikir dan membaca al-Qur’an, serta mulut lebih sering berubah baunya? Namun –Wallahu A’lam– karena syariat telah memerintahkan untuk membersihkan mulut dengan siwak dan menegaskan perihalnya. Mencuci mulut sesudah dan sebelum makan disyariatkan menurut sebuah pendapat. Telah diketahui perhatian syariat untuk membersihkan mulut, berbeda dengan  hidung. Jadi, membersihkan hidung di sini untuk menjelaskan hukumnya, karena dikhawatirkan perkara ini akan diabaikan.”

d. Perintah untuk berkumur-kumur juga disebutkan dalam sejumlah hadits, dan yang terbaik keadaannya adalah hadits Luqait bin Shabrah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا توضات فمضمض

Jika engkau berwudhu, maka berkumur-kumurlah[7]

Penulis berkata: Jika ada orang yang mengatakan, dalil-dalil yang mewajibkan berkumur-kumur dan istnsyaq dipalingkan kepada pengertian mandub (dianjurkan, sunnah) berdasarkan hadits Rifa’ah bin Rafi’ tentang kisah orang yang buruk shalatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

انها لم تتم صلاة أحدكم حتى يسبغ الوضوء كما أمره الله عزوجل فيغسل وجهه ويديه إلى المرفقين ويمسح رأسه ورجليه إلى الكعبين

Sesungguhnya tidak akan sempurna shalat salah seorang dari kalian hingga ia berwudhu dengan sempurna sebagaimana diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu ia mencuci wajahnya, kedua tangannya hingga siku, mengusap kepalanya dan mencuci kedua kakinya hingga mata kaki..”[8]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan berkumur-kumur atau itinsyaq mengenai apa yang diperintahkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan hal ini selaras dengan ayat yang mulia (al-Maidah: 6 –ed.) di atas. Penyebutan wajah di sini bukanlah suatu perkara yang mujmal sehingga harus dijelaskan dengan sunnah. Maka, pendapat ini juga merupakan pendapat yang kuat dan dapat diambil kebenarannya. Wallahu A’lam.

Faidah:
Ketahuilah, para ulama berbeda pendapat tentang hukum berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dalam dua proses bersuci (wudhu dan mandi besar) menjadi empat pendapat berikut ini[9]:

Pendapat pertama, keduanya wajib dilakukan pada saat mandi dan tidak wajib pada saat wudhu. Ini adalah pendapat ats-Tsauri, Abu Hanifah dan ashabur ra’yi.

Pendapat kedua, keduanya sunnah dilakukan pada saat mandi dan wudhu. Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi’i, al-Laits, al-Auza’i dan sejumlah ulama lainnya.

Pendapat ketiga, keduanya wajib dilakukan pada saat mandi dan wudhu. Ini adalah pendapat Atha’, Ibnu Juraij, Ibnu al-Mubarak, Ishaq dan satu riwayat dari Ahmad. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanbali.

Pendapat keempat, ber-istinsyaq wajib dan berkumur-kumur sunnah dalam mandi dan wudhu. Ini adalah pendapat Ahmad –dalam riwayat lain- Abu Ubaid, Abu Tsaur, segolongan ahli hadits, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Mundzir.

  • Mencuci jenggot dan seluruh bulu yang ada pada wajah.[10]

Jika bulu yang tumbuh pada wajah (seperti jenggot, kumis, ‘anfaqah[11], alis dan dua bulu mata) itu sangat tebal hingga menutupi kulit, maka sudah cukup mencuci bagian luarnya saja. Jika kulit masih tampak, maka diwajibkan mencucinya hingga kulit. Namun jika sebagian tebal dan sebagian tipis, maka wajib mencuci kulit pada bulu yang tipis, dan mencuci bagian luarnya pada bulu yang tebal.

Adapun untuk jenggot yang menjulur ke bawah, menurut Abu Hanifah dan sebuah riwayat dari Ahmad, tidak wajib mencuci jenggot yang menjulur ke bawah. Tapi cukup baginya mencuci bagian jenggot yang ada pada wajah, karena yang dimaksud dengan wajah adalah kulitnya saja.

Menurut asy-Syafi’i dan zahir madzhab Ahmad bahwa wajib mencuci bagian yang terjulur ke bawah seberapa pun panjangnya. Karena bulu itu tumbuh pada tempat yang wajib dicuci, maka dia masuk dalam kategori wajah. Inilah pendapat yang lebih tepat. Wallahu A’lam.

2. Mencuci kedua tangan hingga siku

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku” (Al-Maidah: 6)

Para ulama telah sepakat tentang wajibnya mencuci kedua tangan ketika berwudhu.

Ketahuilah bahwa perkataan “sampai” (إِلَى) dalam firman Allah, “Dan tanganmu sampai dengan siku,” maknanya adalah “bersama” (مع), seperti firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:

وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٲلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٲلِكُمۡ‌ۚ

“Dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.” (An-Nisa: 2)

Dan juga firman-Nya:

وَيَزِدۡڪُمۡ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمۡ

Dan Dia akan menambahkan kekuatan bersama kekuatanmu.” (Hud: 52)

Yakni, bersama kekuatan kalian. Al-Mubarrid berkata, “jika batasan itu termasuk dalam jenis yang dibatasi, maka ia masuk di dalamnya.”

Karena itu, wajib memasukkan kedua siku ketika mencuci tangan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, berbeda dengan pendapat sebagian ulama Malikiyah.[12]

Pendapat ini didukung oleh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berwudhu dengan mencuci kedua tangannya hingga mencapai kedua lengannya dan mencuci kedua kakinya hingga mencapai kedua betisnya. Kemudian ia mengatakan, “Begitulah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu.”[13]

Kaidah mengatakan, “Perkara yang menyebabkan tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara itu juga wajib.” Tidak bisa dikatakan mencuci tangan dengan sempurna, kecuali jika telah mencuci seluruh siku.[14]

3. mengusap kepala

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu” (Al-Maidah: 6)

Para ulama sepakat, mengusap kepala hukumnya wajib. Namun mereka berselisih pendapat tentang kadar sahnya dalam tiga pendapat.

Pendapat pertama, wajib mengusap seluruh kepala, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Ini adalah madzhab Malik, zhahir madzhab Ahmad dan para sahabatnya, Ibnu ‘Ubaid, Ibnu al-Mundzir, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[15]. Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut ini:

a. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan sapulah kepalamu.” Huruf ba’ pada kata bi ru’usikum berfungsi untuk ilshaq. Maka perkiraan maksud ayat di sini adalah: wamsahu ru’usakum (dan sapulah kepalamu), sebagaimana halnya ia menyapu wajah pada saat bertayamum. Karena keduanya dalam al-Qur’an disebutkan dengan lafal yang sama. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:

فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِڪُمۡ

Maka sapulah wajahmu.” (Al-Maidah: 6) Yakni sapulah seluruhnya.

b. Perkara ini telah dijelaskan oleh sunnah yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; yaitu ketika berwudhu, beliau mengusap seluruh kepalanya. Di antaranya adalah hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi mendatangi kami, lalu kami menyediakan untuk beliau air dalam bejana terbuat dari kuningan[16]. Lalu beliau berwudhu dengan mencuci wajahnya tiga kali, mencuci kedua tangannya hingga siku dua kali, mengusap kepalanya ke depan lalu ke belakang, dan mencuci kedua kakinya.”[17] Dalam riwayat lain, “Beliau mengusap kepalanya seluruhnya.”

c. Hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu lalu mengusap sepatunya, serta mengusap bagian depan kepala dan sorbannya.”[18] Jika cukup mengusap bagian depan kepala, tentulah beliau tidak perlu mengusap bagian atas sorbannya. Hal ini menunjukkan wajibnya mengusap seluruh kepala.

Pendapat kedua, sah mengusap sebagian kepala. Ini adalah pendapat Abu hanifah dan asy-Syafi’i[19], tetapi mereka berbeda pendapat tentang kadar yang diperbolehkan. Ada yang mengatakan tiga helai rambut, ada yang mengatakan serempat kepala, dan ada yang mengatakan setengah kepala. Hujjah mereka sebagai berikut:

a. Bahwa huruf ba’ dalam firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:

وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ

“Dan sapulah kepalamu,” adalah untuk tab’idh (sebagian) bukan untuk ilshaq (keseluruhan).

b. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengusap pada ubun-ubunnya (bagian depan kepala).

Pendapat ketiga, wajib mengusap seluruh kepala bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi perempuan. Ini satu riwayat dari Ahmad, ia mengatakan, “Aku berharap perempuan lebih dimudahkan dalam hal membasuh kepala. Karena Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah hanya menyapu bagian depan kepalanya.” Ibnu Qudamah berkata, “Ahmad adalah seorang ahli hadits, dan dia tidak akan mengemukakan suatu argumen tentang suatu peristiwa, kecuali jika ada dalil yang sah menurutnya, insya Allah. “[20]

Menurut penulis: Pendapat yang rajih dari pendapat-pendapat di atas adalah wajibnya mengusap seluruh kepala pada saat berwudhu, berdasarkan kekuatan dalil-dalil yang dibawakan. Adapun orang yang mengatakan huruf ba’ dalam ayat tersebut adalah “untuk mengatakan sebagian” (li tab’idh), maka hal itu telah dibantah oleh Imam Sibawaih (imam ahli nahwu) di lima belas tempat dalam kitabnya. Ibnu Burhan berkata, “Barangsiapa yang mengatakan huruf ba’ dalam ayat itu bermakna sebagian (tab’idh), berarti dia telah mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikenal oleh pakar bahasa.”[21]

Kemudian tidak ada hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan bahwa beliau hanya mengusap sebagian kepala saja. Tetapi jika beliau mengusap ubun-ubun (kepala bagian depan)nya, maka beliau menyempurnakannya (dengan mengusap) bagian atas sorbannya.[22]

Adapun untuk wanita, penulis tidak mengetahui adanya dalil yang membedakan antara wanita dengan pria dalam masalah ini. Akan tetapi boleh bagi wanita mengusap bagian atas kerudungnya. Sekiranya ia mengusap bagian depan kepalanya beserta kerudungnya, maka hal itu lebih baik, guna keluar dari perselisihan ini. Wallahu a’lam.

Faidah:  Jika kepala sedang dibungkus dengan inai atau sejenisnya, maka boleh mengusap di atasnya. Karena diriwayatkan dengan shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baliau membalut kepalanya ketika berihram –akan segera disebutkan dalam bab haji, (insya Allah, –edt)-. Karena itu, tidak perlu melepaskannya hanya untuk berwudhu. Sebab sesungguhnya sesuatu yang diletakkan di atas kepala itu termasuk bagian darinya. Wallahu a’lam.

Sumber: Shahih Fiqh Sunnah, yang diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-Atsary dari cetakan Pustaka at-Tazkia – Jakarta (Sebagaimana keterangan pada artikel-artikel Fiqih yang telah lalu)

Bersambung, insya Allah.


[1] Nail al-Authar (I/174), cetakan al-Jail, dan Ahkam al-Qur’an, Ibnu al-‘Arabi (II/563)

[2] Syarh al-Umdah, Ibnu Taimiyah (I/178) dan at-Tamhid, Ibnu Abdil Barr (Iv/36)

[3] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (161), Muslim (237) dan selain keduanya.

[4] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (237)

[5] Shahih, akan segera disebutkan nanti secara berulang-ulang.

[6] Syarh al-Umdah (I/179-180)

[7] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (140), at-Tirmidzi (38), an-Nasa’i (I/66) dan Ibnu Majah (448)

[8] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (859), at-Tirmidzi (302), an-Nasa’i (II/20, 193), Ibnu Majah (460) dan selain mereka.

[9] Ikhtilaf al-Ulama’, al-Maruzi (hal. 23-24),at-Tamhid (VI/34), al-Ausath (I/379), at-Tahqiq, Ibnul Jauzi (I/143) dan al-Muhalla (II/50)

[10] Syarh Fath al-Qadir (I/12), al-Mughni (I/87) dan al-Majmu (I/380)

[11]Anfaqah adalah rambut yang tumbuh antara bibir bagian bawah dan dagu.

[12] Al-Mabsuth (I/6), Bidayah al-Mujtahid (I/11), al-Majmu’ (I/389), dan al-Mughni (I/90)

[13] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (246)

[14] Ikhtiyarat Ibnu Qudamah, al-Ghamidi (I/164)

[15] Al-Mudawanah (I/16), al-Mughni (I92), ath-Thahur (hal. 358), al-Ausath (I/399), dan Majmu’ al-Fatawa (XXI/123)

[16] At-Taur adalah bejana atau wadah dan ash-Shufr adalah kuningan

[17] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (185) dan Muslim (235)

[18] Diriwayatkan oleh Muslim (275), Abu Dawud (150), dan at-Tirmidzi (100). Hadits ini sudah dibicarakan dan telah dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.

[19] Al-Mabsuth (I/8), al-Majmu’ (I/399) dan al-Mughni (I/92)

[20] Al-Mughni (I/93)

[21] Nail al-Authar (I/55) dan al-Mughni (I87)

[22] Majmu’ al-Fatawa (XXI/122), Ahkam al-Qur’an, Ibnu al-‘Arabi (II/571), dan Subul as-Salam (I/107)

Tag:

About Cipto Abu Yahya

Saya hanyalah pedagang ukm yang tidak tertarik untuk dikenal oleh orang banyak. Tapi manfaat yang bisa saya usahakan, diharapkan dapat dirasakan oleh banyak orang..

Apa Komentar Anda?