Sunnah-sunnah Wudhu

Sunnah-sunnah Wudhu
Oleh Syaikh Abu Malik Kamal as-Sayid Salim
hafidzahullah

1. Bersiwak. Telah disebutkan tentang dianjurkannya dalam pembahasan mengenai Sunan al-Fitrah.

2. Membaca tasmiyah. Yaitu basmalah di awal wudhu. Membaca tasmiyah pada dasarnya adalah suatu perkara yang bagus dan disyariatkan secara umum. Ada sejumlah hadits dhaif –walau dihahihkan oleh sebagian ulama- yang mensinyalir tentang tasmiyah pada saat berwudhu. Di antarnya, hadits:

“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ketika berwudhu.”[1]

Lalu hadits-hadits lain yang dhaif sekali dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah. Karena itu, Imam Ahmad berkata, “Aku tidak mengetahui dalam masalah ini hadits yang memiliki sanad yang bagus.”

Penulis berkata: Tidak wajibnya membaca tasmiyah ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa para sahabat yang meriwayatkan tentang sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan adanya tasmiyah. Ini adalah madzhab ats-Tauri, Malik, asy-Syafi’i, Ashabur Ra’yi dan riwayat dari Ahmad.[2]

3. Mencuci kedua telapak tangan sebelum wudhu. Berdasarkan hadits Utsman radhiyallahu ‘anhu tentang sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “….Lalu beliau menuangkan di atas telapak tangannya tiga kali kemudian mencucinya.”[3]

4. Berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu telapak tangan sebanyak tiga kali, dasarnya adalah hadits Abdullah bin Zaid yang mengajarkan tentang sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu telapak tangan. Beliau melakukan hal itu sebanyak tiga kali.”[4]

5. Bersungguh-sungguh memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya, kecuali bagi orang yang sedang berpuasa. Dasarnya adalah hadits Laqaith bin Shabrah secara marfu’:

bersungguh-sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung, kecuali engkau dalam keadaan berpuasa.”[5]

6. Mendahulukan yang sebelah kanan dari yang kiri, dalam hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Kemudian beliau mengambil seciduk air lalu mencuci tangan kanannya, kemudian mengambil seciduk air lalu mencuci tangan kirinya. Kemudian beliau menguap kepalanya. Kemudian mengambil seciduk air lalu menyiramkannya pada kaki kanannya hingga mencucinya. Kemudian beliau mengambil seciduk air lagi lalu mencuci kaki kirinya.”[6]

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka memulai dari kanan ketika memakai sandal, berhias, bersuci, dan dalam seluruh urusannya.[7]

7. Mencuci anggota-anggota wudhu sebanyak tiga kali

Telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Beliau pernah berwudhu masing-masing sekali.[8]” Dan “Pernah berwudhu masing-masing dua kali.”[9] Namun wudhu yang paling sempurna adalah mencuci setiap anggota wudhu sebanyak tiga kali, seperti dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan dalam hadits Utsman dan Abdullah bin Zaid yang telah lalu.

Catatan Penting:

a. Mengusap kepala hanya sekali saja. Dua kali dan tiga kali yang disebutkan secara umum dalam hadits-hadits tentang sifat wudhu Nabi , tidak berlaku untuknya. Adapun riwayat-riwayat yang menyebutkan kepala diusap sebanyak tiga kali, maka tidak ada satu pun yang shahih. Sementara riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa beliau mengusap sebanyak dua kali, maka itu adalah takwil (penafsiran) terhadap hadits yang menyebutkan, “Beliau mengusap dengan kedua tangannya ke depan dan ke belakang (kepalanya)” –sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Abdil Barr-[10]. Mengembalikan tangan (ke belakang) ketika mengusap kepala, tidaklah dikatakan sebagai pengulangan, karena pengulangan adalah dengan mengambil air yang baru. Lalu anjuran untuk mengulang hanyalah pada anggota tubuh yang dicuci bukan yang disapu.[11]

Dalil paling kuat yang menunjukkan tidak adanya pengulangan dalam mengusap kepala adalah hadits A’rabi (orang Arab Badui) yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang wudhu, lalu beliau mengajarinya tiga kali-tiga kali. Kemudian beliau bersabda:

Inilah cara berwudhu. Barangsiapa yang menambahinya, maka ia telah berbuat buruk, melampaui batas dan dzalim.”[12]

Al-Hafidz rahimahullah berkata dalam al-Fath (I/298), “Dalam riwayat Sa’id bin Manshur terdapat penegasan bahwa beliau mengusap kepalanya sekali saja. Hal ini menunjukkan bahwa mengusap kepala lebih dari sekali tidak dianjurkan. Hadits-hadits yang menyebutkan tentang mengusap kepala tiga kali –jika haditsnya shahih- bisa saja dipahami bahwa yang dimaksud adalah mengusap kepala sedikit demi sedikit, bukan tiga usapan yang berdiri sendiri untuk seluruh kepala. Hal ini dilakukan untuk menggabungkan dalil-dalil tersebut.”

Penulis berkata: Ini (mengusap sekali) adalah madzhab Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad –dalam riwayat yang shahih darinya- berbeda dengan asy-Syafi’i rahimahullah.[13]

b. Dibenci menambahi lebih dari tiga kali bagi orang yang telah menyempurnakan wudhunya.

Membasuh setiap anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah wudhu yang paling sempurna, dan dimakruhkan lebih dari itu, berdasarkan hadits, “Barangsiapa yang menambahi lebih dari itu, maka ia telah berbuat buruk, melampaui batas dan dzalim.”

Hal ini selagi penambahan tersebut bukan untuk menyempurnakan kekurangan. Adapun jika wudhunya sudah sempurna dengan tiga kali basuhan, atau kurang dari itu, maka dimakruhkan menambah lebih dari tiga kali. Dan, tidak ada perselisihan dalam hal ini.[14]

8. Menyela-nyela jenggot yang lebat. Telah disebutkan sebelumnya bahwa apabila jenggot itu tebal sehingga menutupi kulit, maka sudah sah membasuh bagian luarnya. Tapi penulis tambahkan di sini, dianjurkan untuk menyela-nyelanya dengan air. Dasarnya adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, maka beliau mengambil setelapak air lalu membasuhkannya di bawah dagunya, kemudian menyela-nyela jenggotnya dengan air tersebut. Kemudian beliau bersabda:

Demikianlah Rabbku ‘Azza wa Jalla memerintahkan kepadaku.”[15]

Perintah ini dibawa kepada pengertian istihbab (anjuran), berdasarkan hadits Rifa’ah bin Rafi’ –telah disebutkan sebelumnya- tentang kisah orang yang buruk shalatnya.

9. Menggosok anggota wudhu, berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid, ia berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, lalu beliau menggosok lengannya.”[16]

10. Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki, dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Sempurnakanlah wudhu, sela-selalah jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali engkau sedang berpuasa.”[17]

Apabila jari-jari dan apa yang ada di antaranya tidak dapat dicuci kecuali dengan menyela-nyalanya, maka hal ini menjadi wajib seperti yang telah dijelaskan.

11. Menambah basuhan melebihi bagian yang wajib dibasuh.

Dianjurkan menyempurnakan wudhu dan menambah basuhan wajah sampai bagian depan kepala yang disebut ithalatul ghurrah (memanjangkan cahaya putih pada wajah) dan membasuh melebihi kedua siku dan mata kaki yang disebut ithalatul tahjil (memanjangkan cahaya putih pada tangan dan kaki). Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya umatku akan datang pada Hari Kiamat dengan cahaya putih pada kepala dan kaki karena bekas air wudhu mereka.” Abu Hurairah berkata, “Barangsiapa di antara kalian yang mampu memanjangkan cahaya putih pada wajahnya, maka lakukanlah.”[18]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berwudhu lalu mencuci kedua tangannya hingga lengan, dan mencuci kedua kakinya hingga betisnya. Lalu berkata, “Seperti inilah aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu.”[19]

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Perhiasan seorang Mukmin sampai pada bekas wudhunya.”[20]

12. Hemat dalam menggunakan air

Dasarnya adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dengan satu sha’ hingga lima mud (air), dan berwudhu dengan satu mud.”[21]

Satu sha’ adalah empat mud, dan satu mud kira-kira setelah liter seperti yang sudah dikenal.

13. Berdoa setelah wudhu.

Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dengan sempurna kemudian mengucapkan: ‘Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah yang tiada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.’ kecuali dibukakan baginya delapan pintu surga dan ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia sukai.[22]

Diriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa yang berwudhu lalu mengucapkan: ‘Mahasuci Engkau, ya Allah dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Engkau. Aku memohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.’ Maka akan dituliskan pada lembaran dan dicetak pada suatu cetakan yang tidak akan patah hingga Hari Kiamat.”[23]

14. Shalat dua rakaat setelah wudhu. Dasarnya adalah hadits Utsman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, lalu beliau bersabda:

Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua rakaat dan tidak berbicara dengan dirinya dalam shalat tersebut, maka diampuni dosanya yang telah lalu.”[24]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal pada waktu shalat Shubuh:

Wahai Bilal, katakanlah kepadaku, amalan apakah yang telah engkau lakukan dalam Islam yang paling engkau harapkan? Sesungguhnya aku mendengar bunyi terompahmu di hadapanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Aku tidak melakukan suatu amalan yang paling aku harapkan. Hanya saja, setiap aku bersuci, baik pada waktu malam maupun siang hari, aku selalu mengerjakan shalat setelahnya sebanyak kemampuanku.”[25]

  • Boleh menyeka anggota tubuh dengan handuk setelah berwudhu

Karena tidak ada larangan mengenai hal itu. Hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan. Jika ada yang berdalil, Maimunah radhiyallahu ‘anha datang kepada Nabi –setelah beliau mandi- dengan membawa handuk. Namun beliau tidak menggunakan handuk, dan beliau pergi dengan membersihkan air dengan tangannya.[26]

Penulis jawab: Ini adalah kasus tertentu yang memiliki  banyak kemungkinan. Boleh jadi beliau menolaknya disebabkan apa yang ada pada handuk tersebut, seperti handuk itu tidak bersih, atau khawatir membuatnya basah dengan air, atau yang lainnya. Lalu alasan Maimunah membawakan handuk karena itu merupakan kebiasaan beliau[27]. Pembolehan ini dikuatkan lagi dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, lalu membalikkan jubah wol beliau dan menyeka dengannya.[28]

At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi dan orang-orang sesudah mereka membolehkan memakai handuk setelah wudhu. Adapun orang yang memakruhkannya, maka ia memakruhkannya karena beralasan –konon- air wudhu itu akan ditimbang.”

  • Tidak sah wudhu jika terdapat cat kuku pada kuku[29]

Karena ia akan menghalangi jatuhnya air pada tempat yang wajib dibasuh. Adapun bila sekadar warna, seperti mewarnai dengan daun inai, atau sejenisnya, maka hal ini tidaklah berpengaruh. Walaupun yang lebih utama adalah menghilangkannya sebelum berwudhu dan shalat. Dasarnya adalah perkataan Ibnu Abbas, “Wanita-wanita kami biasa mewarnai (kuku-kukunya) dengan warna yang paling baik. Mereka mewarnai setelah shalat Isya dan menghilangkannya sebelum shalat Shubuh.”[30]

Diriwayatkan dari Ibrahim an-Nakha’i –tentang seorang wanita yang mewarnai tangannya dalam keadaan tidak berwudhu, kemudian tiba waktu shalat- ia berkata, “Hendaklah ia menghilangkan apa yang ada di tangannya, jika ia hendak shalat.”[31]

Shahih Fiqh Sunnah, ed. Indonesia, pent- Abu Ihsan al-Atsary, penerbit: Pustaka at-Tazkia, hal. 162-169


[1] Dhaif, diriwayatkan oleh Abu Dawud (101), at-Tirmidzi (25), Ahmad (II/418) dan lainnya. Pendapat yang rajih, hadits ini dhaif. Tapi Syaikh al-Albani menghasankannya dalam al-Irwa’ (I/122). Syaikh al-Fadhil Abu Ishaq al-Huwaini memiliki tulisan tentang penshahihan hadits tersebut. Masalah ini tidak jauh dari kebenaran. Wallahu a’lam

[2] Fath al-Qadir (I/22), Mawahib al-Jalil (I/266), al-Majmu’ (I/385) dan al-Inshaf (I/128)

[3] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (159) dan Muslim (226)

[4] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (235), at-Tirmidzi (28) dan Ibnu Majah (405)

[5] Shahih, Abu Dawud (142), an-Nasa’i (I/66), Ibnu Majah (407) dan Ahmad (IV/33)

[6] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (140)

[7] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (168) dan Muslim (268)

[8] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (156) dari Ibnu Abbas

[9] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (157) dari Abdullah bin Zaid

[10] Al-Khilafiyyah, al-Baihaqi (I/336) ta’liq Syaikh Masyhur Alu Salman. Lihat ath-Thahur, Abu Ubaid (hal. 359)

[11] Muqoddimah Ibnu Rusyd dalam al-Mudawanah (hal. 16)

[12] Shahih, diriwayatkan oleh an-Nasa’i (I/88), Ibnu Majah (422) dan Ahmad (II/180)

[13] Al-Mabsuth (I/5), Hasyiah ad-Dasuqi (I/98), al-Mughni (I/127) dan al-Umm (I/26)

[14] At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr (XX/117) secara ringkas.

[15] Shahih lighirihi, diriwayatkan oleh Abu Dawud (145), al-Baihaqi (I/54) dan al-Hakim (I/149). Lihat al-Irwa’ (92)

[16] Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (1082) dan al-Baihaqi (I/196)

[17] Shahih, telah disebutkan baru saja. (yaitu pada footnote no. 5, -edt.)

[18] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (36) dan Muslim (246)

[19] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (246)

[20] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (250)

[21] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (198) dan Muslim (325)

[22] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (234)

[23] Shahih, diriwayatkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kubra (9909) dan al-Hakim (I/564). Hadits ini memiliki syawahid (hadits-hadits pendukung)

[24] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (6433)  dan Muslim (226)

[25] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (1149)  dan Muslim (2458)

[26] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (270)

[27] Dikutip dari asy-Syarh al-Mumti’ (I/181) dan lihat Zad al-Ma’ad (I/197)

[28] Sanadnya mendekati hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (468, 3564)

[29] Dikutip dari bukuku yang berjudul Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’ (hal. 39)

[30] Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (I/120)

[31] Al-Ijma’ (hal. 17) dan al-Ausath (I/147), Ibnu al-Mundzir

Tag:, , , ,

About Cipto Abu Yahya

Saya hanyalah pedagang ukm yang tidak tertarik untuk dikenal oleh orang banyak. Tapi manfaat yang bisa saya usahakan, diharapkan dapat dirasakan oleh banyak orang..

3 responses to “Sunnah-sunnah Wudhu”

  1. nisa says :

    kenapa memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya itu masuk dalam sunnah wudhu? kenapa tidak di wajibkan? alasannya?

    Wallaahu A’lam, jawaban atas pertanyaan anda adalah kapasitasnya ahli fiqh. Di sini saya memposting pendapat yang saya pandang rojih.

  2. andree says :

    Trima kasih ya infonya…….
    Assalamualaikum…..

  3. UMMU FATIMAH says :

    Subhanallah, info yang anda posting sangat bermanfaat. Jazakallah…

Apa Komentar Anda?